Monday, November 19, 2018

Sekatenku, Budayaku



Siapa yang belum kenal yang namanya sekaten kalo udah tinggal barang sebentar di Solo. Hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang dirayakan dengan budaya kota Solo. Hari itu tanggal 17 Novenber 2018 adalah salah satu hari terberkesanku, kenapa? Bakal aku jelasin pelan-pelan.

Kalau kalian nggak mau susah-susah baca, aku juga udah bikin Video yang aku unggah di Youtube, buat ling nya ­­klik aja di sini. Atau lihat di bagian bawah postingan ini nanti aku kasih deh tampilan Youtubenya.

Sekaten sendiri sudah diadakan sejak tahun 1713 Jawa/1786 M. Mengutip dari papan yang tertera diatas tiap ‘Bangsal Pradonggo’ disana dijelaskan :

BANGSAL PRADONGGO ada juga yang menyebutnya Bangsal Sekati atau Pagongan Bangunan kembar ini simetris di sisi Selatan dan Utara menuju kearah bangunan utama masjid dari pintu utama.
Kedua bangunan itu untuk meletakkan gamelan SEKATEN yang dibunyikan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Didirikan th 1713 jawa/1786 M.
Ada dua gamelan yang ditabuh bernama Kiai Gunturmadu dn Kiai Guntursari.
Pradangga Utara dibangun pada masa Pakubuwono VII th 1787 Jawa/1858 M.

Seperti itu kutipan di papan yang tertera dibangunan sebelah utara. Sayangnya aku tidak memotret papan di bangunan sebelah selatan.

Gamelan ditabuh ketika waktu menunjukkan pukul 10 siang. Diawali dengan tabukan gamelan disisi selatan terlebih dahulu, atau di bangunan Kiai Gunturmadu. Gamelan sendiri ditabuh kurang lebih selama setengah jam, beberapa footagenya ada di youtube aku dibagian endingnya. Setelahnya disusul gamelan di bangunan Kiai Guntursari yang juga ditabuh kurang lebih selama setengah jam. Setelah keduanya selesai dengan tabuhan masing-masing, mereka lalu ditabuh secara beriringan sehingga menciptakan alunan jawa klasik yang indah dan merdu.

Selain ada tabuhan gamelan, di area masjid juga terdapat penjual-penjual lesehan dan ternyata sudah ada peraturannya(syarat dan ketentuannya) untuk yang boleh berjualan disana. Disisi pintu masuk terdapat plakat yg gambarnya aku sematkan dibawah ini.



Setiap elemen seperti kinang, telur asin, pecut(cambuk), gangsingan, nasi liwet, cabuk rambak, dan wedang ronde memiliki filosofinya sendiri ternyata. Dari yang aku tangkap kemarin, yang sudah dijelaskan juga disana hanya beberapa.

Seperti filosofi cambuk, benda satu ini memiliki filosofi bahwa ketika seseorang tidak mau melakukan kebaikan maka selayaknya untuk dicambuk atau diberi ketegasan agar orang tersebut mau dan ingin melakukan kebaikan.

Diluar sekaten juga banyak yang menjual celengan alias tempat tabungan dari tanah liat. Itu gunanya untuk mendorong masyarakat untuk mau menabung uang ataupun menabung kebaikan. Penjual disana memilih menjual tanah liat untuk menjaga tradisi dan tanah liat sendiri memiliki seninya sendiri ketika kita berhasil menabung lalu kita pecahkan ada rasa kepuasannya sendiri.

Kinang, buat yang belum pernah melihat pasti merasa asing banget sama benda satu ini. Kalau orang jaman dahulu biasa banget sama yang namanya nginang. Orang-orang tua biasanya mengunyahnya seperti ketika kita mengunyah permen karet. Kata orang kinang beranfaat untuk menjaga ketahanan gigi dan memberikan ketahanan lambung karena kinang adalah antibiotic alami menurut mereka. Kalau aku sendiri sih nggak tau bener salahnya, cuman nenekku juga suka nginang sih.

Buat yang susah mau ke sekaten atau nggak tau mau parker dimana, manfaatkan aja BST atau gojek. Untukku sendiri worth it sih kalau mau mengenal budaya sendiri dan mau kenal sama yang namanya Sekaten.

Sekaten kalau malam juga ada mainan-mainannya atau sebut aja pasar malem dehh. Seru banget main disana. Jangan lihat dari segi kumuh dan ndesonya. Lihatlah dari segi berbagi dan melestarikan budaya. Nggak ada ruginya koq kalau kita mau melestarikan budaya sendiri. Jangan sampai budaya kita tidak dikenal orang. Sampai jumpa di postingan selanjutnya.



Bagikan

Jangan lewatkan

Sekatenku, Budayaku
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.