Ntah kapan postingan
ini akan terposting tapi aku mau berbagi cerita aja tentang apa yang aku
rasakan sepanjang perjalananku mengerjakan skripsiku. Bisa dibilang tempat
cerita sih, kan blog ini bagai diary ku. Teman-teman semuanya yang mungkin lagi
ngerjain skripsi juga pasti merasakan hal sama. Coba deh kalian ingat tentang
impian kalian dan supporter setia kalian. Seperti ceritaku ini. Mungkin bakal
ada part-part nya karena aku senidiri nggak tau kapan skripsi ini kelar.
Aku saat ini sedang
dimasa-masa permulaan pembuatan skripsi nih. Baru mulai sebulan yang lalu dan
udah mulai bikin proposal sekarang. Ntah kenapa akhir-akhir ini rasa malas
melanda, udah sekitar satu minggu proposalku nggak ku pegang. Selain karena
tugas kuliah lain yang menumpuk, juga karena ternyata mencari jurnal tidak
semudah yang aku bayangkan.
Rasa itu mulai membuat
galau ketika aku mematenkan diriku sendiri untuk selalu konsul disetiap
minggunya. Bukan atas dasar paksaan dosen atau teman tapi karena diriku sendiri
yang mau agar lebih merasa tersemangati waktu. Akhir-akhir ini juga makin
banyak godaan antara teman-teman yang mulai down dengan kesulitan yang sama.
Berkeluh kesah bersama dan saling menyemangati.
Tapi ntah kenapa di
hati rasanya tetap sama. Sampai di sore ini aku chat orang tuaku, bukan untuk
meminta uang tapi untuk meminta semangat. Dengan sigapnya mama papaku
membalasnya dengan candaan dan gertakan kecil tentang impianku, tentang
mimpiku. Ya mimpi.
Sebuah mimpi kecil
yang ingin sekali aku wujudkan yaitu menjadi guru. Sebuah mimpi yang ternyata
tak semudah yang ku bayangkan cara mendapatkannya.
Dulu ketika aku kecil
aku ingin menjadi dokter, hanya dokter. Karena itu yang orang tuaku mau dan aku
mau. Dengan stetoskopnya dan jarum suntiknya. Apalagi cara berbicaranya yang
berwibawa serta jas kerjanya yang selalu bersih. Tapi itu dulu.
Lalu pramugari. Tapi
pupus karena satu lagi mimpiku yang ingin ku gapai yaitu menjadi ibu yang bisa
mendidik anak dengan pendekatan yang terpelajar.
Jadilah aku guru,
hingga titik ini ku dihadapkan dengan skripsi yang kukira semudah mencontek
soal ujian. Ketika orang bilang betapa pandainya aku hingga bisa kuliah dan
mendapat nilai bagus. Itu sebenarnya bukan karena aku terlahir pandai, tapi karena
aku terlahir dengan rasa iba pada diriku sendiri.
Ibuku selalu memberiku
contoh jika ku mampu maka ku harus membantu yang lain seperti apa yang beliau
lakukan. Itu yang selalu orang tuaku bilang. Motivasi dan motivasi selalu
mereka berikan padaku.
Disatu sisi, aku
sampai dititik ini pun bukan karena aku pandai. Tapi karena aku ingin
membuktukan bahwa aku pun mampu. Pernah dulu ku direndahkan karena kemampuan
otakku yang standar. Aku nggak malu, karena waktu itu sampai sekarang aku masih
belajar. Belajar memahami diri sendiri. Memahami lingkungan dan memahami orang
lain.
Belajar untuk
menikmati apa yang aku punya tanpa memperdulikan yang orang lain pikirkan
tentang keburukanmu itu lebih baik. Tapi ketika kau berpikir itu mengganggu
maka ambillah sebagai koreksi diri, lalu belajar untuk memperbaikinya agar kau
bisa buktikan kalau kamu mampu.
Sebenarnya patokan
dari kata mampu itu bukanlah sesuatu yang diukur sengan kepuasan orang lain
terhadap apa yang kita dapat tapi seberapa mampu kau melampaui kemampuan
dirimu. Bukan dengan memforsir diri dengan memaksakan fisik, tapi lampaui apa
yang belum pernah kau coba seperti ilmu baru yang belum pernah kau tau.
![]() |
Bonus setelah Sidang |
Bagikan
Kisah Mahasiswa Bergulat dengan Skripsi - Part 1
4/
5
Oleh
Nafila Intan Naumi